Memasuki bulan Juni, pertarungan iklan tiga pasangan capres-cawapres Indonesia semakin menarik. Alih-alih meniru kesuksesan Amerika Serikat ketika menyelenggarakan debat calon presiden (capres) dan debat calon wakil presiden (cawapres), Komisi Pemilihan Umum (KPU) pun merancang acara serupa. Dimulai pada awal Juni lalu dengan debat capres, dilanjutkan dengan debat cawapres pada Selasa 23 Juni 2009 kemarin.
Debat capres yang dimoderatori oleh Anies Baswedan itu dinilai kurang menarik oleh banyak praktisi politik karena argumen ketiga capres (Mega, SBY, dan JK) yang normatif. Moderator juga menjadi kambing hitam atas ‘kegagalan’ acara tersebut, pasalnya Anies dianggap tidak memicu argumen tajam dari pertanyaan yang disampaikan kepada para capres. Hal ini banyak menuai kritik, salah satunya disampaikan dalam acara Democrazy 20 Juni 2009. “Dalam debat tidak ada pernyataan saling setuju atau sepakat, tetapi dengan pernyataan ‘saya tidak setuju, menurut saya seperti ini’”, papar seorang panelis dalam sebuah acara di Metro TV itu.
Perbaikan yang dicanangkan saat debat cawapres pun nampaknya tidak berhasil. Kala itu Komarudin Hidayat, Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang menjadi moderator. Namun, permasalahan yang terjadi justru sama, yaitu moderator yang tidak bisa mengeksplorasi pertanyaan-pertanyaan untuk para cawapres. Meski sedikit lebih menarik dari debat capres karena mereka sudah berani menyatakan ketidaksepakatannya dari cawapres lain, namun pernyataan yang dilontarkan kembali tidak tajam.
Perbedaan yang paling mendasar dari debat calon pemimpin negara di Amerika dengan Indonesia adalah jumlah pesertanya. Dengan dua calon, debat capres maupun cawapres di Amerika akan tetap menarik karena dua argumen bisa langsung beradu, apalagi Obama dan McCain saat itu memiliki strategi yang kontradiktif satu sama lain. Lain disana, lain disini, dengan tiga peserta, satu argumen tidak bisa langsung ‘dihajar’. Imbasnya, moderator harus diisi oleh orang super cerdas yang bisa mempertemukan perbedaan ekstrim antar tiga argumen. Pembahasan yang terjadi pada dua acara debat tersebut menjadi divergen karena ketidakmampuan moderator menemukan titik tekan permasalahan yang harus didebatkan.
Kesalahan yang terulang ini memunculkan sebuah kesimpulan bahwa debat pun tidak dapat mengorek strategi para capres-cawapres secara tajam. Metode komparasi grand design masing-masing pasangan yang disediakan KPU itu tidak dimanfaatkan secara baik oleh semua pasangan. Mereka (capres-cawapres, red) lebih berani mengkritik pasangan lain saat berkampanye di hadapan pendukungnya. Sikap yang sangat tidak layak ditampilkan oleh seorang calon pemimpin negara, bukan!
Semua Cawapres Sekularis?
Ada hal menarik dari sebuah koran hari Rabu, 24 Juni 2009 kemarin. Disana terdapat sub judul bertuliskan “tiga cawapres sepakat untuk memisahkan agama dari negara.” Dalam isi berita tersebut bahkan ditulis pernyataan salah seorang cawapres, “aturan agama tidak boleh masuk secara formal dalam perangkat legal negara.”
Ini tak ubahnya pernyataan kuno gereja koptik Vatikan yang harus memisahkan urusan agama dengan ilmu pengetahuan dan politik. Dalam Islam, tidak dikenal sekularisasi agama, sebab Islam itu sendiri universal, sudah merupakan perangkat pengatur seluruh aspek kehidupan. Islam tidak membutuhkan ideologi atau paham lain untuk membangun umat Islam. Topik fundamental dalam Islam ini tidak terpatri dalam diri para cawapres. Lantas, bagaimana seorang muslim akan membangun negara jikalau paradigma tentang Islamnya sendiri masih amburadul? Allahu’alam.
Bandung, 25 Juni 2009
Rama Permana
Ketua Departemen Kajian Strategis
KAMMI Komisariat IT Telkom 2009-2010
Komentar :
Posting Komentar