Berkata “iya” ketika ditawari sebuah “amanah” ternyata memerlukan konsekuensi waktu ke waktu. Betapa setiap detik akan dipertanggung jawabkan, betapa setiap nafas merupakan modal untuk memenuhinya. Apakah ketika amanah yang berani kita pikul disaat sekawanan lain menolaknya berarti kita telah lahir sebagai yang mampu melakukannya ?
Hari ini, setelah jutaan detik berlalu, mungkin masih banyak terlupakan apa yang harus kita lakukan, mungkin masih kita manfaatkan waktu yang jadi tak berguna itu, dan masih rela diperbudak duniawi dengan bangganya. Dan apakah ternyata kita masih tak tau malu tetap berada disini, untuk apa kawan?untuk siapa?
Obsesi amanah itu telah melepaskan jiwa mereka dari lingkaran ketegangan daya tarik kehidupan duniawi. Sebab sesungguhnya berkarya dan memberi itu adalah menapaki tangga menuju langit ketinggian. Dan hambatan terbesar yang akan selalu
‘memberatkan’ langkah kita adalah daya tarik dunia. (Anis Matta-‘Arsitek Peradaban’)
Menyadarkan diri untuk meningkatkan kesadaran terhadap hakikat hidup dan menghadirkan jiwa dalam menjalani hidup.
Sebab kesadaran itulah yang mengikat jiwa kita secara terus menerus dengan misi penciptaan kita. Seperti mata, jiwa yang memiliki kesadaran begini, selamanya akan terbuka membelalak menatap setiap jejak langkahnya. (Anis Matta-‘Arsitek Peradaban’)
Haruskah tetap tak tau malu menapaki hidup, atau tersadar menjalani hidup, suatu keharusan bukan sebuah pilihan.(-sf0-)
Megati Mahardiningrum
Korwat Departemen Infokom
KAMMI Komisariat IT Telkom
Selasa, 10 November 2009
“FLUSH” BACK
Langganan:
Posting Komentar (RSS)
Komentar :
Posting Komentar